T- Shirt atau kaos oblong pada awalnya digunakan sebagai pakaian dalam tentara Inggris dan Amerika pada abad 19 sampai awal abad 20. Asal muasal nama inggrisnya, T-shirt, tidak diketahui secara pasti. Teori yang paling umum diterima adalah nama T-shirt berasal dari bentuknya yang menyerupai huruf "T", atau di karenakan pasukan militer sering menggunakan pakaian jenis ini sebagai "training shirt"
Masyarakat umum belum mengenal penggunakan kaos atau T-Shirt dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, para tentara yang menggunakan T-Shirt polos tanpa desain ini pun hanya menggunakannya ketika udara panas atau aktivitas-aktivitas yang tidak menggunakan seragam. Ketika itu warna dan bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda itu berwarna putih, dan belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar lengan.
Awal kepopuleran
T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh
Marlon Brando
pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky
dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse
William di Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya
begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh
yang diperankannya. dan film Rebel Without A Cause (1995) yang
dibintangi James Dean. Pada waktu itu penontong langsung berdecak kagum
dan terpaku. Meski demikian, ada juga penonton yang protes, yang
beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong tersebut termasuk kurang ajar
dan pemberontakan. Tak pelak, muncullah polemik seputar kaos oblong.
Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos
oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak
beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas
teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan
menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak
muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan
merupakan bagian dari keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan
popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa
perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun
semula mereka meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan
kaos oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya
secara besar-besaran. Citra kaos oblong semakin menanjak lagi manakala
Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong yang dipadu dengan celana
jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos
oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang
menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut
agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju
lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang
telah menjadi bagian budaya mode.
Menjadi tren anak muda
Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekita tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana.
Perlahan namun pasti, T-shirt mulai menjadi bagian dari busana
keseharian yang tidak hanya dipakai untuk daleman, tetapi juga menjadi
pakaian luaran. Pada pertengahan tahun 50an, T-shirt sudah mulai menjadi
bagian bagian dari dunia fashion. Namun baru pada tahun 60an ketika
kaum hippies mulai merajai dunia, T-shirt benar-benar menjadi state of
fashion itu sendiri. Sebagai sebuah simbol (lagi-lagi) anti kemapanan,
para hippies ini menggunakan T-shirt/kaos sebagai salah satu simbolnya.
Semenjak saat itulah revolusi T-shirt terjadi secara total. Para
penggiat bisnis menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium promosi
yang amat efektif serta efesien. Segala persyaratan sebagai medium
promosi yang baik ada di T-shirt. Murah, mobile, fungsional, dapat
dijadikan suvenir, dan seterusnya.
Disaat yang bersamaan, kelompok-kelompok tertentu macam hippies,
komunitas punk, atau organisasi politik, juga menyadari bahwa T-shirt
dapat menjadi medium propaganda yang sempurna selain medium yang telah
ada. Statement apapun dapat tercetak diatasnya, tahan lama, dan
penyebarannya mampu melewati batas-batas yang tidak dapat dicapai oleh
medium lain, seperti poster misalnya.
Dengan segala kesempurnaannya, T-shirt tidak lagi menjadi sederhana.
Jelas, secara fungsional benda tersebut masih berlaku sebagai sebuah
sandang. Namun dibalik itu semua, T-shirt memiliki value yang melebihi
dari fungsi dasarnya. Desain T-Shirt yang terus berkembang sampai
sekarang selaras dengan perkembangan manusia dan teknologi yang memang
terus berkembang. Sejarah akan terus mencatat desain berbagai kaos
seperti tie dye yang lekat dengan
flowers generation, komunitas
punk yang lekat dengan T-Shirt sobek, polos bahkan dengan desain
typohraphy yang mencolok, dan siapa yang tidak kenal dengan kaos I Love
New York yang fenomenal itu.
Dijadikan identitas pemakainya
Desain T-Shirt yang kemudian menjadi semacam aktualisasi pemakainya,
bisa diramalkan akan tetap terus digemari. Elemen desain berupa
typohraphy yang sangat menarik dan penuh maksud sangat berpeluang
diminati masyarakat. Apalagi perkembangan dunia konsumen yang sangat
memanjakan aktualisasi pribadi. Siapa pun Anda, konsumen, pemilik
perusahaan, manajeman band, atau siapapun, bisa dengan mudah menunjukkan
siapa diri Anda hanya dengan memakai T-Shirt dengan desain typohraphy
atau perpaduan elemen desain lain.
Pemakaian kaos dalam berbagai kesempatan memberikan juga peluang bagi
para desainer dalam berkarya. Fungsinya yang semakin melebar sangat
bisa mendukung perkembangan desain itu sendiri. Kreatifitas menggunakan
medium T-Shirt dalam berkarya desain membuka peluang pemaknaan karya
desain serta perluasan pengetahuan tentang desain pada msyarakat.
Berjamurnya clothing dan distro di kalangan bisnis modern adalah salah
satu kemajuan yang positif dalam dunia desain. Berbagai karya desain
yang diimplementasikan dalam medium T-Shirt memberi warna bagi
kehidupan, tidak hanya bentukan huruf tapi foto, karya desain yang dulu
tidak memungkunkan untuk menggunakan media T-Shirt, kini semuanya
menjadi mungkin. Namun, perkembangan yang demikian masif harus tetap
juga disikapi dengan baik, kemasifan sesuatu hal terkadang menjadikan
desain hanya sebagai produk instan yang tidak memperhatikan
faedah-faedah desain, karena itulah pengetahuan desainer akan
prinsip-prinsip desain sangat diperlukan.
Di Indonesia, konon masuknya benda ini karena dibawa oleh
orang-orang Belanda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab
benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia
teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang
mahal.
Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang
signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal
tahun 1970. Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan
katun-halus-tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria.
Beberapa merek yang terkenal waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga
merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan lain-lain. Dan tren kaos oblong
rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om
Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong” (Harian
Kompas, 14 Januari 1978).
Couple T-Shirt Menjadi Trend Masa Kini
Saat ini merebak trend mode kaos yang disebut sebagai
couple t-shirt.
Couple Tshirt adalah kaos oblong yang dibuat dengan design sablon khusus. Dimana pasangan lelaki dan wanitanya memakai sepasang
couple t-shirt. Sehingga disaat mereka bersama, arti design kaos oblong tersebut memiliki sebuah makna. Menambah nilai romantisme di antara mereka.
Link Terkait:
1.
Couple T-Shirt